Sabtu, 10 Desember 2011

kopi november

cerita ini sudah lama sekali terjadi, tahun 87. ketika hujan november adalah saat yang ditunggu. saya di kampung yang letaknya jauh sekali, di tepi sawah dan kolam yang tak pernah kering.

buat saya, adzan ashar adalah pekik merdeka, lepas dari madrasah, menikmati hidup. kehidupan saat itu adalah air bening yang mengalir di sungai, dengan palung-palung dalam tempatku berenang tanpa takut tenggelam. tetapi november bukan saat yang tepat berenang di sungai, air derasnya bisa mengubah nasib jadi apa saja. beberapa anak desa tetangga, tubuhnya berakhir di pintu air, tentu saja tanpa nyawa.

november adalah saatnya berenang di kolam depan rumah, bersama gurame, bersama tawes, jikapun ada ancaman, bukan banjir bandang, hanya patil lele. cukup membuat semalaman panas dingin, tetapi tidak mengirim tubuhku ke pintu air.

hujan pertama membawa aroma tanah, wanginya membuat para penidur berjalan dalam tidurnya, keluar pintu dan berpesta di bawah hujan, di bawah petir yang bersahutan. nenek bilang, hujan pertama adalah air kehidupan yang membuat fir'aun tak pernah sakit. jika kita ingin sehat seperti fir'aun, bersenang-senanglah dengan basah di bawah hujan pertama, bersama wangi tanah dan katak yang bersahutan.

november adalah saat biji kopi di kebun kami selesai dijemur. selepas ashar, demikian kata nenek, adalah waktu terbaik menggorengnya di atas wajan membara. Bersama potongan-potongan kelapa, mewartakan harumnya pada seluruh penjuru kampung. Membuat setiap orang yang lewat tersedak, lalu seperti kena guna-guna berjalan mencari sumber harumnya. kopi kami, demikian kata nenek, harumnya bisa membuat elang yang terbang terjatuh seperti orang kasmaran, begitu hinggap di tanah, wajahnya penuh cinta, tidak menakutkan lagi anak ayam.

november adalah senja basah kuyup kami, menggigil usai berenang di kolam, lalu mencicipi kopi hangat buatan nenek, setetes demi setetes, dan merasakan surga yang nyata.

lalu senja beranjak dingin beku, dari mulut kami keluar uap hangat, menjadi kabut beraroma kopi, menghantar do'a dan mimpi-mimpi kami, terus membumbung tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar