Sabtu, 10 Desember 2011

siklus dan dongeng tentang buku

saya suka bilangan 360, karena ia adalah kesempurnaan tiada celah.

tadi malam saya membayangkan sebuah buku, ribuan lembar tanpa jilid, sisinya menempel pada sebuah poros, serupa silinder. tanpa angka penanda halaman. setiap halaman adalah permulaan, setiap kalimat adalah pembuka, setiap kata adalah awal dari kisah tanpa akhir. setiap kalimat adalah catatan kaki buat kalimat-kalimat sebelum dan sesudahnya.

buku adalah cara mengikat peristiwa sebelum lapuk dimakan lupa, meski peristiwa an sich tak butuh dicatatkan. mengingat peristiwa, demikian kata teman saya, adalah cara manusia meletakkan dirinya dalam ruang. eksistensi dihidupi oleh kenangan. membuat manusia beda dengan benda.

dalam buku khayalan saya itu, manusia adalah bagian dari peristiwa. merujuk archimedean point, sebesar apapun manusia mengira dirinya, tetaplah hanya sebutir debu dalam silinder waktu. tak bisa menahan putaran lajunya. fakta yang bisa membuat para eksistensialis genit menangis darah.

waktu berputar pada porosnya, seperti buku itu. peristiwa hadir pada setiap halaman, saling terkait sebagai pra-syarat, syarat, sebab dan akibat dari peristiwa sebelum dan sesudahnya. sebagai siklus yang selalu berulang. buku itu ingin mendongeng bahwa awal adalah akhir, bahwa tujuan adalah titik pemberangkatan. bahwa jawaban adalah lengkapnya sebuah pertanyaan.

meletakkan segala sesuatu sebagai bagian dari siklus adalah cara tak lekas takjub pada diri sendiri. tak lekas besar kepala atas pencapaian-pencapaian kecil. bahwa hari ini adalah hasil dari kemarin dan ribuan hari dalam sejarah, yang bisa jadi adalah sebab dari apa yang kita sebut masa lalu.

saya bahkan tak akan sanggup menulisnya, cukup membayangkannya saja, tanpa bosan.



we do not say: Being is, time is, but rather: there is Being and there is time.
martin heidegger

Tidak ada komentar:

Posting Komentar